Home » » Koruptor - Munafik - Anjing & Drakula

Koruptor - Munafik - Anjing & Drakula



BERITA Saya tahu korupsi banyak dihujat. Semua membicarakan korupsi. Mengkritik memaki-maki bahkan sampai ada yang menulis koruptor itu anjing. Tapi pendapat saya lain. Bagi saya korupsi itu tidak haram. Bahkan sangat sejalan dengan ajaran agama. Dan sebagai koruptor, saya sudah mengamalkannya. Saya adalah seorang koruptor sekaligus seorang yang taat beragama (Islam). Kenapa saya katakan korupsi itu Membongkar Sebuah Kebohongan Kisah hidup Dracula merupakan salah satu contoh bentuk penjajahan sejarah yang begitu nyata yang dilakukan Barat. Kalau film Rambo merupakan suatu fiksi yang kemudian direproduksi agar seolah-olah menjadi nyata oleh Barat, maka Dracula merupakan kebalikannya, tokoh nyata yang direproduksi menjadi fiksi. Bermula dari novel buah karya Bram Stoker yang berjudul. Membongkar Sebuah Kebohongan & DUSTA Kisah hidup Dracula merupakan salah satu contoh bentuk penjajahan sejarah yang begitu nyata yang dilakukan Barat. Kalau film Rambo merupakan suatu fiksi yang kemudian direproduksi agar seolah-olah menjadi nyata oleh Barat, maka Dracula merupakan kebalikannya, tokoh nyata yang direproduksi menjadi fiksi. Bermula dari novel buah karya Bram Stoker yang berjudu
“Jangan munafik. Jadi orang itu mesti yang jujur”. Begitu kalimat yang diucapkan oleh salah seorang peserta diskusi kepada peserta lain di sebuah stasiun TV swasta dalam acara Indonesia Lawyers Club beberapa waktu lalu. Orang tersebut tampaknya jengkel karena lawan bicaranya berbelit-belit dalam memberi keterangan dan mengelak dari semua yang pernah dia ucapkan. Padahal, dia meminta klarifikasi untuk sebuah pernyataan yang dianggap menyudutkan. Suasana semakin panas, karena semua peserta berebut ingin bicara. Sebenarnya saya tidak begitu suka melihat acara tersebut, karena program tersebut --- menurut saya --- menjadi ajang pertengkaran oleh pihak-pihak yang selama ini saling berseberangan. Sering pula menjadi ajang saling menghujat. Mungkin bagi para peminat ilmu hukum dan praktisi hukum, secara substantif program tersebut cukup bernilai dan menjadi tontonan menarik. Sebab, selain membahas masalah-masalah hangat, pesertanya sebagian besar adalah para praktisi hukum. Tentu saja itu sah-sah saja dan hak mereka, tergantung dari sisi mana memandangnya.
Tulisan pendek ini tidak membahas  masalah hukum, karena saya bukan ahli dan praktisi hukum. Tetapi saya akan mengelaborasi lebih jauh makna kata “munafik” sebagaimana muncul dalam kalimat pembuka tulisan ini. Dalam pengertian sederhana, munafik berarti sikap pura-pura dan tidak jujur. Yang diucapkan tidak sama dengan yang ada di dalam hati dan yang dilaksanakan. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai manusia dengan sifat tersebut. Misalnya, di depan kita, seorang tersebut sangat baik, santun, hormat. Tetapi di sisi lain, dia berperilaku sebaliknya, dan bahkan menghujat. Saya sangat yakin para pembaca tulisan ini pernah menjumpai atau bahkan memiliki kawan yang memiliki sifat munafik. Pasti menjengkelkan dan merepotkan bukan? Sebab, dianggap musuh nyatanya baik, tetapi dianggap kawan nyatanya berkianat. Secara khusus, Allah melalui al Qur’an juga membicarakan masalah karakter orang munafik dan ancaman siksaannya di beberapa ayat, seperti surat al Baqarah ayat 8-20, an Nisa’ ayat 142-145, dan surat al Munafiqun ayat 1 sampai 7. Banyaknya ayat tentang orang munafik tersebut setidaknya menunjukkan bahwa manusia dengan ciri-ciri seperti itu memang ada dalam kehidupan sehari-hari, dan Allah sejatinya melarang manusia berbuat munafik.  Karena itu, bagi orang munafik hukumannya sangat pedih.
Dalam dunia kerja di kantor dan kehidupan rumah tangga di sebuah keluarga, keberadaan orang munufik juga sangat merepotkan. Misalnya, seorang atasan, kepala sebuah kantor atau pimpinan perusahaan tidak akan berhasil menjalankan tugasnya jika memiliki staf atau anak buah yang tidak jujur alias munafik. Atau sebaliknya, betapa repotnya jika staf memiliki atasan atau pimpinan  yang tidak jujur. Sebenarnya seorang pimpinan yang tidak jujur sudah kehilangan legitimasi atau kepercayaan di mata anak buahnya. Kata-katanya tidak lagi dipercaya. Jikalau anak buah masih mau mengikuti perintahnya  itu semata karena rasa takut, bukan karena sikap loyal atau setia kepada atasan. Sejatinya, modal utama seorang pemimpin untuk diikuti anak buahnya atau anggotanya adalah kejujuran, berilmu pengetahuan, dan integritas kepribadian. Karena itu, orang munafik dan apalagi bodoh jelas tidak memenuhi kategori sebagai pemimpin.
Banyak studi menemukan keberhasilan lembaga, organisasi dan juga individu tidak ditentukan semata oleh kecerdasan otak para pelakunya, melainkan oleh sikap jujur semua orang yang terlibat di dalamnya. Pada tulisan terdahulu pernah diuraikan mengenai studi Thomas Stanley tentang kunci sukses para milyader dunia. Dua di antara penyebabnya adalah faktor kejujuran dan tim kerja yang solid dan terdiri atas orang-orang yang jujur. Studi itu tidak menemukan kecerdasan otak sebagai faktor penentu keberhasilan.
Begitu juga dalam kehidupan sebuah rumah tangga akan terjai kekacauan  jika ada di antara anggotanya memiliki sifat munafik. Bisa dibayangkan bagaimana jika seorang ayah sebagai pemimpin keluarga tidak jujur pada istrinya, sebaliknya istrinya juga tidak jujur pada suaminya. Anak-anaknya akhirnya mengikuti perilaku kedua  orangtuanya menjadi manusia-manusia yang tidak jujur. Rumah tangga demikian tentu jauh dari ketenteraman dan kedamaian. Isinya pasti pertengkaran dan percekcokan. Jika sudah demikian, rahmat Allah tidak akan turun ke anggota keluarga tersebut. Sebab, rahmat Allah hanya akan turun di tengah-tengah orang damai, rukun, dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Karena itu, sebagai sebuah agama Islam sangat menekankan kerukunan dan kedamaian agar kasih sayang Allah turun.
Secara khusus, Islam melalui hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim memberi batasan sangat jelas tetang manusia dengan sifat munafik  yakni dengan tiga ciri utama sebagai berikut:
  1. jika berkata bohong (tidak jujur)
  2. jika  berjanji ingkar, dan
  3. jika diberi amanah berkianat.
Jika hadis Nabi tersebut kita renungkan, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ciri-ciri sebagaimana dikatakan Nabi tersebut kini menjadi pemandangan kita sehari-hari. Kebohongan, pengingkaran janji, dan pengkianatan  oleh para penguasa terhadap rakyat dan penegak hukum  terus saja terjadi. Wujudnya yang pertama adalah korupsi yang dilakukan oleh para elite negara, yang mestinya tugasnya adalah menyejahterakan rakyat tetapi justru menyengsarakan mereka dengan mengeruk uang negara yang notabene adalah uang rakyat lewat praktik korupsi. Lihat saja berapa banyak pejabat yang masih aktif dan mantan pejabat negara sekarang masuk penjara karena terbukti memakan uang haram tersebut. Dulu pelaku koruptor umumnya adalah laki-laki. Kini koruptor perempuan tidak lagi menjadi pemandangan aneh. Lihat saja berapa banyak perempuan yang sedang mendekam di penjara dan berapa pula yang antri untuk disidangkan perkaranya dari kasus korupsi.
Apapun bentuk dan alasannya, korupsi termasuk bentuk kejahatan sistemik yang  dampaknya luar biasa bagi masyarakat luas. Salah satunya adalah kemiskinan yang masih melanda bangsa ini. Menurut perhitungan para ahli,  diperkirakan saat ini masih terdapat  40 juta orang miskin di Indonesia. Mereka menjadi warga negeri ini yang tidak beruntung, karena belum bisa menikmati hasil pembangunan sejak negeri ini merdeka 67 tahun silam. Kemiskinan adalah sebuah potret suram yang menyesakkan hati. Dampaknya sungguh luar biasa bagi kemanusiaan. Masih demikian banyak warga negara ini yang sekadar mencari makan untuk hidup sehari-hari saja memperolehnya dengan susah payah. Para koruptor ratusan, miliaran, hingga trilyunan rupiah sungguh tidak punya hati.
Kedua adalah ketidakadilan oleh para penegak hukum dan kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat. Menurut laporan Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Indriawasti Dyah S dalam diskusi bertema “Upaya-upaya Pencegahan Penyiksaan di Indonesia” sebagaimana dilaporkan Kompas (27/6/2012) rakyat sangat rentan penyiksaan. Menurutnya rakyat yang berstatus sosial rendah dinilai rentan terhadap penyiksaan dalam proses penangkapan dan penyidikan oleh aparat negara, terutama para penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. Penyiksaan tidak pernah terjadi bagi mereka yang berstatus sosial tinggi. Lebih rendah status orang yang diduga melakukan kejahatan, maka lebih cepat pula proses hukumnya. Kasus nenek miskin mbah Minah yang mengambil tiga buah kakao merupakan bukti konkret tesis tersebut. Sebaliknya, semakin tinggi status sosial seseorang, maka semakin lama dan berbelit-belit proses hukumnya. Lihat saja kasus yang dialami Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang tersangkut kasus pembangunan wisma Atlet Hambalang. Anas baru dipanggil KPK setelah 67 orang diminta keterangannya mengenai keterlibatannya dalam penyalahgunaan dana proyek tersebut. Padahal, mantan bendaharanya Nazaruddin sudah sejak tertangkap dengan gamblang menyebut keterlibatan Anas berikut jumlah uang yang ia serahkan beserta kronologi dan tempat penyerahannya. Para terdakwa lain pun semuanya juga selalu menyebut nama Anas di setiap persidagan.
Lebih lanjut, Indriaswati menyatakan bahwa jaksa dan polisi masih sewenang-wenang menjalankan tugasnya karena minimnya akuntabilitas dalam menggunakan otoritas. Salah tangkap dan salah vonis tersangka kejahatan masih terus saja terjadi. Tak pelak Indonesia termasuk salah satu negara yang dalam pelaksanaan HAM tergolong rendah di dunia. Menurutnya, dari sebuah rezim penguasa ke rezim berikutnya nyaris sama. Memang harus diakui ada hal yang sangat menonjol setelah kejatuhan Orde Baru pada Mei 1998, terutama praktik demokrasi, menyatakan pendapat, dan keikutsertaan warga dalam proses politik. Ini merupakan buah reformasi yang paling nyata dirasakan oleh masyarakat. Tetapi itu belum cukup, sebab masyarakat masih merindukan hal-hal lain, terutama sikap jujur para pemimpin negara ini, yang buahnya adalah keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian. Jika rasa adil dan sejahtera sudah dirasakan oleh semua warga negeri ini, lepas dari suku, bahasa, agama, dan warna kulit serta bentuk rambut, maka kedamaian sebagai cita-cita akhir kehidupan bisa diraih. Siapa pun pasti merindukan hidup dengan penuh ketenangan dan itu akan lahir dari para pemimpin yang jujur dan tidak munafik. Karena itu, jangan berharap memperoleh kesejahteraan dan kedamaian jika sebuah negara masih dipenuhi oleh para penguasa dan elite politik yang munafik. Mereka telah lupa akan janji dan sumpah yang pasti mereka ucapkan pada saat mengawali tugas. Rakyat yang dulu memilih dan menyampaikan aspirasinya telah mereka campakkan.
Pemimpin yang munafik tentu tidak bisa  jujur dan tidak adil. Selanjutnya jika sudah terjadi ketidakadilan dan ketidakjujuran, keributan segera menyusul. Resonansi keributan akan semakin menggema jika ketidakjujuran dan ketidakadilan  melanda masyarakat yang lebih luas. Kita tentu bisa belajar bahwa hampir semua keributan, baik yang berskala kecil maupun besar, pangkalnya adalah ketiga hal tersebut. Para pemimpin satu demi satu berjatuhan juga umumnya karena ketiga hal tersebut.
Tulisan ini akan saya tutup dengan pertanyaan apakah karena kita ini munafik hingga Allah menimpakan berbagai musibah kepada negeri ini berupa tsunami, gempa bumi, kekeringan, banjir, gunung meletus, kecelakaan pesawat, tanah longsor dan seterusnya yang seolah tiada henti? Jawabnya saya serahkan kepada para pembaca untuk menjadi renungan di saat-saat longgar. Tetapi, andai jawabnya ”ya”, mari kita segera beristighfar bersama!

Yang dibenci orang itu bukan korupsinya, tetapi sifat yang dilahirkan dari suatu tindak korupsi itu sendiri. Korupsi berdampak merusak dengan cara menggerogoti sumsum sendi tulang negara. Kalau dibiarkan, negara akan rapuh dan akibatnya negara bisa runtuh. Maka wajiblah bagi kita untuk memberantasnya sebelum merajalela meracuni sendi kehidupan bernegara.
Korupsi juga melahirkan mental-mental jiwa pengkhianat dan munafik. Maka jika seseorang sudah dihinggapi penyakit korupsi, justru orang itu nampak rajin bekerja. Juga seolah-olah orang itu tak perlu lagi disangsikan pengabdiannya. Tetapi di dalam akal pikirannya, dia selalu mencari-cari kesempatan dan kelengahan untuk berbuat korupsi. Agar tak kentara, ia pun bersikap manis, rajin dan baik. Tujuannya agar orang tak menaruh curiga kepadanya.
Korupsi sama arti dengan maling. Bedanya, korupsi tidak mengenal ketupat Bengkulu alias bogem mentah. Sedangkan maling kalau ketahuan pasti digebuki dan dihujani bogem mentah beramai-ramai. Maling kadang bisa sembuh dari penyakitnya, tapi korupsi mana bisa sembuh. Watak korupsi tak mengenal puas, cari wanci bilahi ginowo mati.

Seperti diketahui kata munafik (munafiq) adalah salah satu istilah dalam Islam untuk menyebut prilaku buruk/ negatif  orang-orang yang suka berbohong, terutama dalam hal keimanan kepada Allah dan Rasulnya Muhammad SAW. Mereka, dengan ucapan, sumpah dan janjinya seolah-oleh meyakini kebenaran Allah dan Rasul, namun dalam prakteknya mereka justru membantahnya.
Tapi sikap atau prilaku  munafik tak cuma menyangkut aqidah dan keimanan atau hal-hal yang berhubungan dengan Allah melainkan juga dalam hubungan manusia sesamanya. Inilah yang kita kenal dengan ungkapan orang yang bermuka dua. Telunjuk lurus kelingking berkait. Lain di mulut lain di hati. Musuh dalam selimut. Menggunting dalam lipatan. Menohok kawan seiring dan sebagainya.
Karena itu Islam melalui Nabi Muhammad memberikan perhatian khusus dan serius agar umat berhati-hati dan selalu mewaspadai orang-orang munafik itu. Baik dalam kontek aqidah maupun dalam kontek muamalah/pergaulan hidup di masyarakat. Nabi mengingatkan indikator orang munafik yang bisa dibaca melalui hadits shahih riwayat Abu Hurairah RA. Kata beliau: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga. Yaitu, orang yang apabila berbicara, ia dusta/ bohong. Apabila berjanji ia mungkir. Apabila diberi kepercayaan (amanah), ia berkhianat.”
Sejumlah hadist maupun Allah SWT melalui beberapa ayat Alqur’an mengingatkan bahaya orang munafik itu dan sanksi bagai mereka di dunia maupun di akhirat kelak. Dan itu sudah sering disampaikan para ulama dan da’i di mimbar-mimbar tabligh.  Sebuah contoh. Kala Nabi Muhammad hendak menyalatkan tokoh munafik Abdullah bin Ubai, Umar bin Khattab memegang tangan Nabi Muhammad Saw dan berkata, “bukankah Allah telah melarang Rasulullah menyalatkan orang-orang munafik?”
Nabi bersabda, “aku telah diberikan pilihan karena Allah berfirman: Apakah kau memohon ampun bagi mereka atau tidak, dan sekalipun kau memohon tujuh puluh kali untuk ampunan mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka. (QS. At-Taubah [9]: 80)”. Begitu Nabi  mau mengerjakan salat jenazah turunlah wahyu Allah : “Dan janganlah kau sekali-kali menyalatkan seorang pun di antara mereka (orang-orang munafik) yang mati (QS. At-Taubah [9]: 84).
Kini kendati kata munafik adalah semakin jarang diucapkan tapi prakteknya kian lumrah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia mengancamkan berbagai hukuman bagi pelaku kejahatan yang bersumber dari prilaku munafik itu. Setidaknya bagi kebohongan, ingkar janji dan pengkhianatan yang berimplikasi menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain.
Ada sekitar 10 bab dari 22 bab KUHP yang mengatur sanksi hukuman pidana bagi pelaku kejahatan munafik. Yaitu bab sumpah palsu dan keterangan palsu, pemalsuan mata uang, pemalsuan meterai dan merek, pemalsuan surat, kejahatan terhadap asal usul dan perkawinan,  membuka rahasia, penggelapan, penipuan, merugikan orang yang berpiutang atau yang berhak, dan bab kejahatan jabatan. Pasal UU dalam bab-bab KUHP tersebut mengancamkan hukuman penjara mulai  empat bulan sampai 15 tahun.
Sebut saja bab 25 tentang penipuan (17 pasal dari 378 s/d 395 ) mengatur sanksi hukuman bagi  pelaku kejahatannya yang diawali kebohongan seperti tipu muslihat, tindakan kepalsuan, ingkar janji dan pengkhianatan. Pasal 378 mengatur sanksi bagi   siapa saja dengan maksud menguntungkan diri atau orang lain secara melawan hukum memakai nama palsu atau peri keadaan palsu,  baik dengan tipu muslihat maupun dengan rangkaian kebohongan, membujuk orang supaya memberi barang atau upaya membuat utang, atau menghapus piutang, dipidana selamanya empat tahun penjara.
Pasal 383 mengancamkan pidana setahun empat bulan penjual yang menipu pembeli dengan menyerahkan barang beda (tak sesuai keadaan, sifat, jumlah dan ukuran) dengan barang yang ditunjukkan. Pasal 385 menyatakan, dipenjara empat tahun orang yang menjual atau menukar atau mengagunkan hak milik orang lain secara melawan hukum.
Kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme yang berimplikasi pada kerugian negara dan masyarakat, yang diatur khusus UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jelas bersumber dari kemunafikan. Begitu juga dengan penyalahgunaan kekuasaan pelanggaran sumpah jabatan dan pelanggaran UU netralitas PNS.
Maka, membaca rumusan ajaran Islam melalui hadits dan Alqur’an mengenai prilaku munafik, lalu, membaca pasal KUHP, UU Antikorupsi, sumpah jabatan dan sebagainya itu, tampaknya masalah prilaku munafik bukanlah urusan yang sederhana. Apalagi, kemunafikan telah berimplikasi luas terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Karena itu, selayaknyalah upaya penyadaran masyarakat bangsa tentang bahaya munafik dan sanksi-sanksi hukumnya di dunia maupun di akhirat kelak mendapat prioritas semua pihak. Para ulama, da’i serta penegak hukum seperti polisi dan jaksa termasuk para akademisi perlu satu kata dalam membangun karakter dan integritas moral antikemunafikan itu. Hanya dengan menjauhkan sikap munafik itu kejahatan penipuan sampai pengkhianatan seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan bisa diatasi di negeri ini.

0 komentar:

Posting Komentar

logo

 
Copyright © 2013. Redaksi Media OPSI - KPK - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger