Home » » Hantu Birokrasi

Hantu Birokrasi


Oleh: DR HC. Ary Ginanjar Agustian, Corporate Culture Consultant
Apabila kita bicara tentang reformasi birokrasi atau transformasi budaya korporasi kadang seperti membicarakan setan atau hantu. Makhluk yang dirasakan keberadaannya, dapat dirasakan pengaruhnya yang sangat menggangu, akan tetapi tidak terlihat bagaimana bentuknya dan tidak diketahui pula di mana lokasinya. Akhirnya yang terjadi  adalah banyak orang membicarakanya dari masa ke masa dan telah menjadi momok abadi. Bahkan setan dan hantu itu semakin banyak dan terus beranak-pinak dari generasi ke generasi sehingga tidak terkendali lagi pertumbuhan dan  penyebarannya.
Meski berbagai cara telah dilakukan, ternyata reformasi birokrasi seolah jalan di tempat. Kinerja institusi tetap tidak terdongkrak. Apa faktor penyebabnya? Selama ini  kita terus menyalahkan sistem. Berbagai perubahan sistem  telah dilakukan di sana-sini  akan tetapi hasilnya tetap mengecewakan. Sebagai contoh, dulu mekanisme atau sistem untuk memilih seorang Kepala Daerah dilakukan oleh anggota DPRD. Akan tetapi karena terjadi money politic, lalu sistem diubah dengan pemilihan langsung. Namun yang terjadi ternyata  money politic yang jauh lebih hebat, dengan biaya yang lebih dahsyat, dan ditambah lagi dengan serangan fajar kepada rakyat secara langsung. Inilah contoh reformasi birokrasi  biaya tinggi yang gagal. Sekarang bahkan muncul wacana baru  untuk kembali ke sistem lama yaitu pemilihan kepala daerah melalui DPRD lagi.
Sesungguhnya ada tiga faktor yang menentukan keberhasilan reformasi birokrasi yaitu keselarasan antara Nilai-Sistem-Leadership. Artinya tidak cukup hanya perbaikan sistem tanpa pembangunan Nilai dan Leadership. Dave Ulrich konsultan HR (Human Resource) mengatakan bahwa peran pemimpin sangat besar terhadap keberhasilan pembangunan budaya perusahaan mencapai 40%, nilai berperan 25%, sedangkan sistem 35%. Kalau kita hanya berfokus kepada perbaikan sistem artinya kita hanya melakukan perbaikan sebesar 35% saja.
Ketiga hal di atas, kami namakan Reformasi Birokrasi Menyeluruh: yaitu membangun sistem yang didahului dengan pembangunan nilai atau value, dan dilanjutkan dengan pembangunan leadership. Artinya tidak cukup merumuskan atau mempropagandakan nilai serta membangun sistem tanpa diiringi  dengan Role model dari para pimpinan. Menjadikan para pimpinan contoh dari implementasi nilai sehingga menunjukkan bahwa nilai itu adalah sesuatu yang penting dan harus dipegang teguh dan dijaga dalam menjalankan roda birokrasi. Inilah kunci transformasi budaya korporasi atau kunci reformasi birokrasi secara total.
Selanjutnya secara pribadi para pemimpin menjalankan nilai tersebut serta menanamkan nilai-nilai tersebut kepada seluruh karyawan. Penegakkan nilai harus dimulai dari  para pemimpin  dalam diri mereka sendiri, baru kemudian karyawan, sehingga  nilai tersebut hidup dan berkembang seiring dengan pertumbuhan organisasi. Diharapkan corporate values selalu hidup sampai puluhan tahun ke depan bahkan jika bisa sampai ratusan tahun dengan strategi tiga jurus ini.
Langkah berikutnya adalah mengukur derajat kesesuaian antara nilai dan sistem secara berkala.  Seperti halnya roda mobil yang harus di "spooring" secara teratur,  harus diketahui berapa persen melencengnya, dan harus diketahui pasti roda mana yang miring. Semakin tinggi ketidaksesuaian roda maka akan semakin tidak sehat birokrasinya, sebaliknya  semakin rendah ketidaksesuaian akan semakin sehat birokrasinya Artinya setiap nilai harus dikunci dengan sistem, dan setiap sistem harus diisi dengan nilai atau "value". Untuk lebih mudahnya ini seperti akidah yang dikunci dengan syariah, dan syariah diisi dengan akidah. Inilah keterkaitan antara Nilai dan Sistem. Seperti Raga dan Jiwa yang tidak bisa dipisahkan. Disamping itu pengukuran "kemiringan roda" birokrasi ini harus bisa diukur dengan pasti derajatnya, supaya perbaikan bisa tepat, akurat, dan presisi. Artinya: "You can not manage, if you can not measure".
Pemimpin dan Entropi Birokrasi
Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang jelas antara pemimpin dengan entropi birokrasi. Sebagaimana sudah dijelaskan pada artikel terdahulu bahwa  Entropi Budaya adalah mengukur energi yang terbuang percuma di tempat kerja yang bisa menurunkan produktifitas.
Entropi budaya korporasi atau entropi birokrasi sesungguhnya adalah refleksi langsung dari entropi pribadi sang peminpin itu sendiri. Cara untuk mengurangi warisan entropis pemimpin masa lalu adalah dengan melakukan: de-layering, re-strukturisasi, dan transformasi budaya. Di samping itu di zaman sekarang ini entropi pemimpin pun bisa diukur dgn akurat secara obyektif.
Keterlibatan peran pimpinan jelas menjadi faktor kunci penentu kesuksesan perusahaan yaitu khususnya untuk  menghidupkan nilai tersebut secara mendalam dan holistik. Jika tidak dimulai dan ditegakkan para pemimpinnya, nilai-nilai perusahaan tidak akan tercipta menjadi sebuah corporate culture. Karena itulah  dikatakan bahwa “Organisasi tidak bertransformasi hingga para pemimpinnya memiliki nilai yang baru dan mengubah perilaku mereka.”
ACT Consulting
Jl. Ciputat Raya No. 1B Pondok Pinang, Jakarta 12310
Telp. (021) 7696654 Fax. (021) 7696645
Email: act.consulting@esqway165.com

0 komentar:

Posting Komentar

logo

 
Copyright © 2013. Redaksi Media OPSI - KPK - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger